Oleh Rajo Ameh CEO ArtaSariMediaGroup & Haswinda Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Parepare
Panggung politik kembali memanas. Spanduk, baliho, dan jargon politik menyemarakkan sudut-sudut kota dan desa.
Dari pasar tradisional hingga media sosial, para politisi bersaing menunjukkan senyum terbaik dan program-program gemerlap yang diklaim pro-rakyat.
Namun, di balik kampanye yang megah, rakyat bertanya: ke mana perginya janji-janji manis lima tahun lalu?
Fenomena Politik Retorik

Dalam setiap kontestasi politik, terutama menjelang pemilu, rakyat seakan disuguhkan parade janji yang menggoda. Infrastruktur merata, lapangan kerja melimpah, pendidikan dan kesehatan gratis, hingga slogan “pemerintahan bersih dan melayani” menjadi menu wajib setiap kampanye.
Namun sering kali, janji-janji ini berakhir hanya sebagai retorika tanpa realisasi.
Contohnya, seorang kepala daerah terpilih pada periode lalu berjanji akan membangun rumah sakit bertaraf internasional dan membuka 10.000 lapangan kerja dalam dua tahun pertama masa jabatannya. Kini, di akhir periode, rumah sakit tersebut bahkan belum memiliki fondasi, dan tingkat pengangguran justru meningkat akibat relokasi industri pasca pandemi.
Kampanye yang Mengandalkan Emosi, Bukan Data
Kampanye politik di Indonesia kerap didominasi oleh pendekatan emosional dan simbolik. Tokoh-tokoh politik memanfaatkan sentimen kedaerahan, agama, atau kesenjangan sosial untuk meraih dukungan.
Dalam debat publik, program-program seringkali hanya disampaikan secara normatif, tanpa data pendukung yang konkret atau roadmap implementasi yang jelas.
“Ini bukan soal siapa yang paling banyak janji, tapi siapa yang mampu menepatinya,” ujar Dr. Wahyudi, pengamat politik dari Universitas Nasional.
“Sayangnya, publik belum terbiasa menagih janji, apalagi mendokumentasikannya. Akibatnya, politisi merasa bisa mengulang retorika yang sama setiap musim pemilu.”
Rakyat Sebagai Korban Politik Jangka Pendek
Tidak bisa dipungkiri, banyak pemilih tertarik pada janji-janji populis yang disampaikan secara emosional.
Padahal, janji tanpa kebijakan yang terukur hanya menjadi bom waktu. Warga seperti Sumiati, seorang ibu rumah tangga di pinggiran kota, merasa kecewa. “Katanya anak-anak kami mau dikasih beasiswa sampai kuliah.
Nyatanya baru daftar saja sudah diminta fotokopi macam-macam dan akhirnya nggak lolos,” keluhnya.
Sementara itu, aktivis pemilu menyoroti lemahnya regulasi dan pengawasan terhadap janji kampanye. Meski KPU mewajibkan peserta pemilu menyampaikan visi-misi secara tertulis, tidak ada mekanisme sanksi jika janji-janji itu tidak ditepati. Hasilnya, tidak ada akuntabilitas terhadap janji kampanye.
Solusi: Transparansi dan Literasi Politik
Masyarakat perlu diberdayakan untuk lebih cerdas dalam memilih. Pemilih kritis harus menuntut transparansi data dan bukti konkret dalam setiap kampanye. Media pun diharapkan lebih aktif melakukan fact-checking terhadap janji-janji yang dilontarkan para kandidat.
Di sisi lain, perlu adanya peran lembaga independen untuk memantau pelaksanaan janji politik. Salah satu usulan yang berkembang adalah membentuk “Platform Pemantauan Janji Publik” berbasis data terbuka, di mana masyarakat dapat melihat perkembangan realisasi setiap janji kampanye secara berkala.
Jangan Terlena Dua Kali
Pemilu adalah pesta demokrasi, tapi jangan biarkan ia hanya menjadi panggung sandiwara yang diulang-ulang setiap lima tahun.
Rakyat harus belajar dari masa lalu—tidak cukup hanya dengan mendengar, tetapi juga mencatat dan menagih.
Karena janji politik tanpa bukti, bukan hanya pengkhianatan pada rakyat, tetapi juga penghambat masa depan bangsa.
Sementara itu seorang Mahasiswi Institut Agama Islam Negeri [IAIN] Pare-Pare bernama Haswinda mengatakan berbagai macam janji manis partai politik (Parpol) diberikan agar menarik simpati masyarakat sebagai pemilih. Dalam hal ini, masyarakat diminta agar cerdas menyikapi tawaran dari partai politik yang mencari massa untuk kepentingan sendiri.
Analisis yang bisa dikedepankan adalah tidak berperannya partai politik (Parpol) dalam menjalankan ideologi sehingga muncul politikus-politikus yang suka menebar janji. Mereka ini tersebar dari partai nasionalis hingga agamais, di samping hilangnya ideologi partai politik dalam mengawasi peran kader berpolitik juga karena lemahnya kaderisasi yang terjadi pada partai politik.
Dengan demikian, dapat dikatakan adanya keterhubungan antaraperan parpol terhadap perilaku para kader atau politikus. Kalau kemarin kita membicarakan penyakit yang sedang diidap para politikus sekarang melihat apakah ada obat yang diberikan para politikus ini di tengah citra busuk yang tersemat. Hanya berkekuatan moral, berkali-kali para calon pemimpin mendatangi masyarakat memberikan janji-janji manis ingin mensejahterakan rakyat.
Namun saat terpilih, semua janji itu melayang seakan tidak ada janji-janji sebelumnya yang telah mereka ucap. Pada saat ada calon pemimpin berkampanye meminta agar dipilih masyarakat mengangkat suara agar janji dipenuhi dahulu sebelum pemilihan dilaksanakan untuk menghindari kejadian-kejadian sebelumnya yang melupakan akan janji ketika mereka sudah terpilih.
Kemudian, apabila pemimpin itu sudah berusaha menepati janjinya namun, tidak berhasil karena banyak faktor luar yang terjadi. Misalnya seorang calon pemimpin berjanji mengurangi angka kemiskinan dan ternyata saat berkuasa terjadi krisis ekonomi sehingga sulit mewujudkan janji tersebut.
Hal ini seringkali terjadi, seorang calon pemimpin memberi jani-janji semata-mata hanya untuk dipilih tujuannya meraih simpati agar orang memilihnya. Salah satunya iming-iming menyelesaikan masalah dalam perbaikan jalan dalam waktu yang cukup singkat namun hal tersebut tak kunjung selesai juga.
Menghadapi janji politik seperti itu masyarakat semestinya sadar bahwa tidak seharusnya percaya akan janji-janji tersebut karena bisa saja hal tersebut hanya berkekuatan moral semata. Artinya kita hanya bisa menunggu bukti dari janji tanpa bisa menuntut kepengadilan atas hak yang telah mereka ucap sebagai janji.
Dilain pihak, pemimpin yang memiliki hati nurani tentu berpikir seribu kali sebelum mengucap janji apakah mereka bisa menepati ketika mereka sudah duduk diatas. Mereka juga akan rugi karena kehilangan kepercayaan dari masyarakat, sekaligus dihantui perasaan gagal. Baik yang berjanji maupun menerima janji sebaiknya memahami kata Paulo Coelho dalam novel The Devil and Miss Prym: ”Pertama-tama kita tidak perlu percaya pada janji-janji.
Dunia ini penuh dengan janji: janji akan keselamatan abadi, kekayaan, juga cinta tak terbatas. Tidak sedikit orang-orang berpikir mereka bisa menjanjikan apa saja agar orang lain percaya begitu saja apapun yang menjamin masa depan mereka lebih baik. Begitupun dengan orang-orang yang memberi janji tapi tak dapat menepati hingga akhirnya merasa tak berdaya dan frustasi dan nasib yang sama juga menanti orang-orang yang percaya akan janji-janji seperti itu.
Dengan adanya janji manis yang dilontarkan para calon bakal pemimpin kita sebagai pemilih jangan mau menjadi obyek yang diperdaya, tetapi sebagai pemilih yang cerdas kita harus bisa memastikan apa yang diucapkan peserta pemilu adalah suatu yang realistis.
Oleh Rajo Ameh CEO ArtaSariMediaGroup & Haswinda Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Parepare
oke